Chapter 161 - Terpaksa Menikahi Tuan Muda - NovelsTime

Terpaksa Menikahi Tuan Muda

Chapter 161

Author: LaSheira
updatedAt: 2025-08-03

Di saat Saga dan rombongan

    berangkaat menuju kota XX yang indah dengan pemandangan laut dan pantainya. Ada

    yang tertinggal di ibu kota. Dialah dua gadis cantik Sofia dan Jenika. Ibu sendiri

    memilih untuk pergi keluar kota mengunjungi kakak laki-lakinya. Menyusun

    rencana yang tidak di dukung siapapun. Kedua anak perempuannya sudah

    mewanti-wanti untuk menghentikan apapun rencana itu. “ Baiklah, aku hanya ingin

    mengunjungi paman kalian selama Saga pergi.” Akhirnya Jen melepas kepergian ibu

    mereka.

    Dua gadis itu memasuki lift setelah

    menerima kunci kamar, satu kamar untuk mereka pakai bersama.  Lelah seharian di kampus dan tempat magang,

    membuat mereka membisu satu sama lain. Semakin tertekan setelah menutup telfon

    yang baru saja Jen terima dari sekertaris Han. Laki-laki itu dengan amat

    lugasnya membacakan aturan yang harus mereka taati selama kepergian Saga. Ntah

    kenapa, setiap kali membacakan peraturan Han selalu terdengar jauh lebih

    bersemangat dibanding situasi apapun.

    “ Kakak kami bisa pergi sendiri.”

    Jen terkejut saat kedua pengawal yang sedari tadi mengikuti mereka ikut masuk.

    “ Maaf nona, kamar kami juga ada di

    lantai yang sama dengan kamar nona.”

    Apa! Sekertaris Han menyebalkan!

    Jen dan Sofi kompak mengutuk nama

    itu di hati mereka masing-masing tanpa dikomando. Benar saja, Setelah sampai di

    lantai kamar mereka, kamar dua kakak pengawal itu memang ada di samping mereka.

    “ Selamat istirahat nona.” Dua

    laki-laki itu membungkukan kepala mereka.

    “ Jangan berdiri di depan pintu

    kami!” Jen menatap serius. “ Kami bersumpah tidak akan pergi ke mana-mana. Jadi

    kalian masuklah ke kamar.” Pintu kamar Jen sudah terbuka. Tapi dua pengawal itu

    tidak bergeming dari tempatnya. Sofia sudah masuk duluan ke dalam kamar. “ Ayo

    sana masuk kamar kalian.” Jen mengusir dengan tangannya.

    “ Nona, kami hanya memastikan nona

    berdua aman.” Salah satu dari mereka bicara.

    Walaupun tidak terjadi apapun, yang

    penting kami sudah melakukan prosedur yang semestinya. Begitu gumam keduanya

    dalam hati. Menyelamatkan diri jika evaluasi nanti.

    “ Memang akan terjadi apa? di hotel

    kak Saga” Berteriak akhirnya. Sekertaris Han benar-benar mendidik para pengawal

    dengan baik. Terutama kedua orang ini.  Untuk itulah mereka yang terpilh dari sekian

    banyak pengawal yang ada. “ Kakak, aku janji hanya akan di kamar tidak

    kemana-mana. Jadi kalian juga masuk dan istirahatlah.”

    Memang aku putri kerajaan apa.

    “ Baiklah nona, tapi berjanjilah

    tidak melakukan sesuatu yang.”

    “ ia, ia. Aku janji.” Memotong pembicaraan.

    “ Ayo masuk sama-sama biar adil. Buka pintu kalian.” Pintu kamar samping

    terbuka, salah satu sudah berdiri di depan pintu. “ Ayo masuk sama-sama. Aku

    hitung ya.” Dua pengawal itu menganguk saja mendengar instruksi Jen. “ Satu,

    dua, tiga.” Hanya jen yang hilang di telan pintu. Sementara dua pengawal itu

    masih berdiri di tempatnya memastikan kalau dua gadis yang masuk tidak keluar

    lagi. Setelah yakin, akhirnya mereka masuk ke dalam kamar mereka.

    Sofia sudah ambruk di atas tempat tidur.

    Tasnya sudah ada di ujung kasur. “ Ini karena kak Jen akhir-akhir ini selalu

    menempel pada kakak ipar, kita jadi terdampar di sini.” Berbaring menatap

    langit-langit kamar sambil menjejakan kaki sedikit kesal.

    “ Kenapa aku? Kak Saga memang tidak

    akan mengajak kita kali, inikan bulan madu.” Protes mengudara. Jen juga merasa

    masih menggangu dalam intensitas wajar. Menurut standarnya.

    “ Tapi Pak Mun dan sekertaris Han

    saja ikut. Hiks-hiks.” Sofi membayangkan lautan biru di kepalanya. Menyelam dan

    bermain dengan ikan warna warni. Berjemur di pantai yang hangat.

    Aaaaa, aku benar-benar ingin pergi.

    Apalagi pergi ke kampus sedang benar-benar tidak menyenangkan.

    “ Kalau sekertaris Han memang

    separuh hidupnya kak Saga, kalau pak Mun, kenapa dia diajak ya. Aaaa aku

    iriiiii. Kupikir aku bisa ikut bersenang-senang. Kitakan bisa ambil foto banyak

    di pantai.” Lagi-lagi Jen membayangkan suasana yang sama dengan Sofi. Dia

    bahkan jauh lebih ekstrim, dia ingin memakai pakaian putri duyung dan berpose

    bak putri lautan di pantai.

    “ Sudah kubilang jangan menempel

    pada kakak ipar terus. Pokoknya ini gara-gara kak Jen.”

    Jen merengut, ikut ambruk di atas

    tempat tidur sambail meraih bantal guling dan memeluknya. Berfikir, apa

    akhir-akhir ini dia memang kelewatan menempel pada kakak iparnya.

    Ah tidak, aku biasa saja kok. Kak

    Saga saja yang pelit. Kalau berurusan dengan kakak ipar.

    “ Lalu, kita cuma bisa keluar masuk

    kamar dan keliling hotel aja?” Jen mulai kesal. Lebih-lebih memikirkan menu

    makanan hotel. Baginya masakan koki di rumah masih lebih baik mendekati

    seleranya.

    Jen dan Sofi memang jauh lebih

    tertarik makanan strett food, walaupun terkadang mereka sembunyi-sembunyi

    membelinya. Taukan, generasi sekarang, makanan itu yang pertama harus

    memanjakan mata dulu. Baru bisa menyentuh hati dan perut kemudian. Karena

    keduanya termasuk rutin memposting apa yang mereka makan di sosial media.

    “Kak Jen,  baru sadar sekarang! Aku saja sudah merinding

    saat Han membacakan aturannya tadi.” Sofi bergerak mengambil hp di tasnya. Sepi,

    chat yang biasanya setiap saat membombardir lengang. Hanya chat beberapa grup

    kampus dan teman kuliahnya. Yang dinanti tidak mengirim pesan. Dia merengut

    lalu memilih membuka media sosialnya.

    “ Kak Jen, memang sejauh apa si

    kamu suka sama kak Raksa?” Mengobati galau dengan sok mencari tahu kisah cinta

    orang lain. Dia menelusuri postingan-postingan receh mengusir galau di hatinya.

    Jen menoleh pada adiknya, yang

    bertanya bahkan tidak mengalihkan pandangan dari hp. Dia bergumam sendiri,

    mengajak hati dan pikiraannya untuk membuat jawaban yang bisa membuat adiknya

    iri. Dilebih-lebihkan dari segala sudut.

    Krik, krik bahkan sampai beberapa

    lama dia  binggung untuk mulai membuat

    kalimat.

    “ Sudah, tidak usah menjawab, aku

    sudah tahu jawabannya.” Bosan menunggu yang tak pasti.

    “ Apa! Aku saja belum selesai

    berfikir bagaimana kau bisa menyimpulkan jawabanku.” Tidak terima, karena

    sepertinya alasannya itu sudah ada diujung kepala. Tapi susah sekali kalau di

    susun dalam satu kalimat.

    “ Sudah kak, aku sudah tahu. Dari

    dulu kamu kan selalu begitu kalau lagi jatuh cinta.” Beralih sebentar dari hp,

    lalu tertawa melihat wajah Jen kesal.

    “ Apa!”

    “ Ya gitu otaknya agak kosong kalau

    lihat orang baik sedikit aja.” Tertawa jauh lebih keras.

    “ Kurang ajar kamu!” Jen memukul

    adiknya dengan guling yang dipeluknya. Begitulah Jen, dia memang mudah

    tersentuh dengan kebaikan orang lain. Apalagi orang-orang yang tidak mengenal

    siapa dirinya. Siapa keluarganya. Orang-orang yang hanya mengenalnya sebagai Jenika.

    Hingga terkadang memang dia sangat mudah dimanfaatkan, sampai dia sendiri tidak

    merasa kalau dia sedang dimanfaatkan oleh orang. Jen tidak pernah mengatakan

    siapa keluarganya, karena memang Sagapun tidak memperkenalkan adik-adiknya ke

    publik. Namun orang bisa melihat, dari penampilan Jen, mobil yang dia bawa.

    Bahwa dia punya segalanya untuk layak dijadikan teman.

    “ Aku lapar, cari makanan di luar yuk.” Saat

    mendengar perutnya yang mulai berbunyi.

    “ Tuh kan kosong lagi isi

    kepalanyanya. Sekertaris Han bilang lewat jam enam jangan keluar dari hotel.

    Lupa!”

    Keduanya mengumpat dalam hati lagi.

    Menyebut satu nama.

    “ Tunggu, kak Saga pasti sedang

    asik dengan kakak ipar, dia tidak mungkin mengecek keberadaan kitakan. Lagian

    ini juga belum malam. Aku ingin makan nasi goreng XX.”

    Lagi-lagi keduanya membayangkan

    sepiring nasi goreng pedas yang asapnya masih mengepul, dengan taburan bawang

    goreng garing, dan daging kambing di atasnya. Walaupun harus dibeli dengan

    melewati antrian panjang tapi mereka akan rela menempuhnya.

    “ Ayo kabur sebentar.” Jen bangun

    duduk. Merapikan rambut dan bajunya.

    “ Kita mau naik apa?” Sofi sudah

    ingin menyerah saja. Pulang dari kampung dan kantor saja mereka dijemput tadi.

    “ Telfon pacarmu, minta jemput di

    sebrang hotel. Kita keluar diam-diam.” Jen mengeryit saat Sofi malah meraih

    bantal lalu memukulinya berulang. Melemparkan bantal dan dia ambil lagi lalu

    dibenamkan wajahnya di sana. Dia memang tidak terisak, tapi adegan itu cukup

    dramatis membuat Jen kuatir. “ Hei kenapa?”

    Aku menyebut siapa si tadi, pacar,

    hei kenapa? Jangan bilang kamu putus juga.

    “ Kenapa?” mengoyangkan kaki Sofi.

    “ Putus sama Haze?” Sekarang sudah diguncang tubuh adiknya keras karena tidak

    menjawab pertanyaan. “ Hei kenapa? Dia selingkuh?” Ntahlah, kalau pertengkarang

    antar hubungan kadang selalu dipicu oleh pihak ketiga. Hingga yang terpikirkan

    hanya tema perselingkuhan.

    Hiks, aku bahkan ingin jadi pihak

    ketiga hubungan seseorang.

    “ Tidak!” Masih membenamkan wajah.

    “ Lalu kenapa? Kamu disakiti?” Sofi

    mengeleng, masih diposisi semula. “ Benar juga, tidak mungkin ya, dia bahkan

    tergila-gila padamu sudah sampai level begitu.” Wajah Haze terbayang di kepala

    Jen. Laki-laki perawakan sedang, tingginya dibawah Jen tapi masih sama dengan

    Sofi. Mereka terlihat sangat manis berdua. Sama-sama polos. Hanya dibayangkan

    saja sepertinya jahat sekali kalau menuduh wajah polos itu selingkuh.

    “ Bukan! Kami bertengkar kemarin.” Membalikan

    badan dan bangun. Mengambil bantal dan memeluknya di pangkuan.

    “ Kenapa?” Terkejut.

    “ Aku menamparnya.” Membenamkan

    wajahnya dibantal. “ Aku menamparnya di mobil dua hari lalu.”

    Waww, bocah ini main tampar tamparan. Jen tidak percaya. Ini Sofi lho, kalau Helene menampar kakak ipar mungkin dia masih bisa percaya.

    “ Kenapa?” Penasaran.

    Jen menatap adiknya yang masih

    membenamkan wajah dibantal.  Lalu Sofi mendongak, merengut.

    “ Dia tiba-tiba menciumku di dalam

    mobil. Aku jadi refleks menamparnya.”

    Hah! Semakin mengejutkan saja bocah ini.

    Begitulah, bagi seorang kakak. Terkadang berapa usia adikmu, selalu dianggap bocah belum cukup umur.

    Jen sedang berusaha mengulang

    adegan yang diceritaakan Sofi. Saat mereka sedang ada di lampu merah, dan Sofi

    bicara panjang lebar kemana-mana. Tiba-tiba Haze menyambar bibir Sofi. Dan yang terjadi kemudian refleks Sofi menamparnya.

    Ya Tuhan, aku pasti tertawa kalau

    ada di sana. Dia hanya ingin membungkam multmu Sofi.

    “ Kenapa kau menamparnya? Beneran

    gak suka. Haha.” Jen menyenggol lengan adiknya.

    “ Soalnya aku langsung ingat kak

    Saga. Dan Ingat kejadian beberapa tahun lalu.”

    Semua langsung

    mengheningkan cipta mendengar nama Saga di sebut. Jen sampai menoleh meyakinkan

    diri kalau tidak ada yang mendengar. Melihat ke arah pintu, Tidak mungkinkan Kak Saga atau Han tiba-tiba muncul di sana.

    Bersambung

Novel