The Shattered Light
Chapter 191: – Pemakaman Elvior
CHAPTER 191: – PEMAKAMAN ELVIOR
Angin pagi membawa dingin yang tak biasa, seolah bumi ikut berkabung. Di tengah reruntuhan benteng tua di dataran tinggi Vareth, puluhan orang berdiri mengelilingi peti batu yang baru selesai dipahat. Di dalamnya terbaring Grandmaster Elvior—pemimpin terakhir Ordo Cahaya—yang kini akan turun ke tanah yang pernah ia pimpin dengan tangan besi.
Lyra berdiri di depan peti itu, mengenakan jubah abu-abu, wajahnya pucat tapi teguh. Tangannya menggenggam sebuah liontin kecil yang dulu diberikan Elvior padanya saat masih kecil, ketika ia belum tahu siapa sebenarnya pria itu baginya.
Di sisi lain, Kaelen berdiri diam. Tidak di depan. Tidak di samping. Hanya menatap dari belakang, seperti bayangan dari sesuatu yang pernah terang.
Tak ada imam yang memimpin upacara. Tak ada ritual agung. Hanya suara alam dan manusia yang tersisa.
Alden melangkah maju, menggenggam kapak perak yang sudah tumpul. “Elvior bukan pria suci. Tapi dia mati bukan sebagai musuh, melainkan seseorang yang... pada akhirnya memilih bertarung demi yang benar.”
Hening menyambut kata-kata itu.
Alden menatap Lyra. “Dan dia ayahmu. Kau yang harus menutupnya.”
Lyra menarik napas dalam-dalam. Ia mendekat ke peti, lututnya hampir goyah. Ia menunduk, menyentuh dahi Elvior dengan tangan gemetar.
"Aku membencimu bertahun-tahun," bisiknya. "Karena kau meninggalkanku. Karena kau menjadi alasan ibuku menangis setiap malam. Tapi... hari ini aku mengubur itu semua bersama jasadmu."
Ia menatap wajah dingin ayahnya. “Karena aku tak mau menjadi seperti kau.”
Dengan itu, Lyra menjentikkan jari, dan nyala sihir lembut melingkupi peti, mengikatnya perlahan dengan cahaya perak. Tanah terbelah sedikit, dan peti mulai turun.
Setelah pemakaman, mereka berpencar. Hanya Kaelen dan Lyra yang masih tinggal.
“Dia bukan pahlawan,” kata Lyra pelan, menatap langit kelabu. “Tapi juga bukan monster. Dan anehnya... itu membuat kehilangannya jauh lebih sulit.”
Kaelen menunduk. “Kita tumbuh berharap semua musuh bisa kita benci tanpa ragu. Tapi kenyataan selalu membuat garis itu kabur.”
Lyra menoleh padanya. “Apa kau ingat bagaimana wajah Serina saat tertawa?”
Kaelen membeku.
“Suaranya...?” Lyra menambahkan, pelan.
Kaelen mencoba.
Kosong.
“Aku tahu aku pernah mencintai seseorang lain,” katanya, suara parau. “Tapi wajahnya buram. Namanya hilang. Kadang aku bangun malam-malam dengan perasaan bersalah, tapi tak tahu kenapa.”
Lyra tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menggenggam tangan Kaelen.
Dan untuk pertama kalinya, Kaelen tidak membalas genggaman itu.
Sore harinya, Kaelen berdiri di puncak tebing, memandangi lembah yang dulunya markas Ordo. Sekarang hanya reruntuhan, bekas medan perang, dan asap dari tenda-tenda penyintas.
Alden datang, membawakan secangkir air.
“Kau terlihat lebih tua,” katanya.
Kaelen menyeringai tipis. “Perang membuat semua orang tua.”
“Tidak, bukan secara fisik. Jiwamu.” Alden duduk di atas batu. “Kau menang. Dunia bebas. Tapi aku tidak tahu apakah kau ikut terbebas.”
Kaelen menatap ke kejauhan. “Aku merasa ringan. Tapi juga kosong. Seperti beban yang kugendong terlalu lama... dan sekarang, setelah kulepaskan, aku lupa bagaimana caranya berdiri.”
Alden menatapnya serius. “Apa kau pikir, semua ini sepadan?”
Kaelen diam lama.
“Ya dan tidak,” jawabnya akhirnya. “Aku tak tahu apakah aku menyelamatkan dunia... atau cuma mengganti bentuk kehancurannya.”
Di kejauhan, para penyintas mulai membangun kembali. Anak-anak bermain di antara puing, tak sadar betapa dekat mereka dengan kematian beberapa hari lalu. Dunia bergerak, bahkan saat hati belum pulih.
Kaelen berdiri lebih lama, sampai matahari tenggelam.
Lyra mendekat, memegang pundaknya.
“Besok kita mulai menyusun dewan baru,” katanya. “Dunia membutuhkan struktur. Dan kau... kau bisa memimpin.”
Kaelen menoleh padanya.
“Tidak,” katanya. “Aku sudah cukup lama memimpin perang. Kini saatnya aku belajar diam.”
Lyra tak menjawab. Ia tahu—Kaelen sedang bersiap menjauh.
Dan meski hatinya memberontak, ia tidak menahan.
Karena beberapa luka hanya bisa disembuhkan oleh keheningan.