The Shattered Light
Chapter 192: – Retakan Pertama dalam Dunia Baru
CHAPTER 192: – RETAKAN PERTAMA DALAM DUNIA BARU
Pagi di kota bentukan baru, Veritas, terasa aneh. Terlalu tenang untuk dunia yang baru saja keluar dari perang. Di balai pusat—bangunan kayu setengah jadi yang difungsikan sebagai tempat dewan sementara—perdebatan berlangsung sengit.
“Apa kita biarkan wilayah timur dikuasai kelompok mantan Ordo begitu saja? Mereka bersenjata, terorganisir, dan tidak semua sudah menyerah,” ujar seorang pria berambut abu-abu dengan jubah merah marun.
“Mereka rakyat juga,” sahut Lyra cepat. “Banyak dari mereka dipaksa bergabung. Kita tak bisa menghukum semua karena dosa segelintir pemimpin.”
“Kalau kita terlalu lunak, mereka akan kembali memberontak,” potong yang lain. “Dunia ini baru pulih. Kita butuh kontrol.”
Kaelen hanya duduk di sudut ruangan. Tak berkata-kata. Matanya menatap meja bundar di hadapannya, tapi pikirannya entah di mana.
Lyra memperhatikan Kaelen sesekali, ragu untuk menyentuh peran yang semakin disingkirkan oleh Kaelen sendiri. Setelah dewan bubar sementara, ia menghampiri Kaelen yang masih duduk membisu.
“Kau belum bicara sepatah kata pun,” katanya pelan.
“Apa pendapatku masih penting?” Kaelen bertanya tanpa menatapnya.
Lyra menghela napas. “Kau bukan hanya penyelamat dunia, Kaelen. Kau—”
“Bukan pemimpin,” potong Kaelen cepat. “Aku tahu itu. Dan kurasa sekarang semua juga tahu.”
Lyra duduk di sampingnya. “Dulu, kau berjuang karena kau punya sesuatu untuk dilindungi. Sekarang... apa yang kau rasakan?”
Kaelen diam lama. “Aku merasa seperti lukisan yang sudah selesai. Tak bisa ditambah... tapi juga tak bisa diperbaiki.”
Di luar balai, di dekat pasar kecil yang baru dibangun, Alden sedang berbicara dengan sekelompok mantan pejuang. Mereka gelisah.
“Kami tidak suka kebijakan pengampunan itu,” kata salah satu, seorang perempuan dengan luka di pipi. “Kami kehilangan keluarga. Kami tak bisa duduk satu meja dengan pembunuh mereka dan menyebut itu damai.”
Alden mencoba menenangkan. “Kalau kita mulai membalas, itu bukan keadilan. Itu hanya perang yang disamarkan.”
“Tapi kalau tak ada hukuman, itu penghinaan!” bentak yang lain. “Apa darah kami tak berarti?”
Alden menatap mereka. Lelah. Bingung.
Di belakangnya, Kaelen mengamati. Dari jauh.
Malam hari, Kaelen kembali ke kamar sempitnya di rumah tua yang kini ia tinggali sendiri. Dindingnya masih setengah roboh. Tak ada pengawal. Tak ada lambang kejayaan. Hanya kesunyian.
Ia duduk di lantai. Menatap sebuah benda kecil—potongan kain biru tua yang sudah usang. Seperti bagian dari jubah.
Ia tak ingat dari mana ia mendapatkannya.
Ia hanya tahu... benda itu membuat dadanya sesak.
Lalu suara pintu diketuk.
Lyra.
“Boleh masuk?”
Kaelen mengangguk tanpa berkata.
Lyra duduk di lantai bersamanya, memandangi potongan kain itu.
“Serina?” tebaknya lirih.
Kaelen tidak menjawab. Tapi sorot matanya mengiyakan.
“Sebagian dirimu masih tahu. Tapi tubuhmu menolak mengingat.”
“Apa aku masih manusia, Lyra?”
Pertanyaan itu membuatnya tercekat.
“Aku tak tahu,” jawab Lyra jujur. “Tapi aku tahu, aku masih mencintaimu. Bahkan saat kau mulai lupa siapa dirimu.”
Kaelen menatap matanya. Ada luka. Tapi ada juga ketulusan.
“Aku ingin... meninggalkan semuanya.”
Lyra terdiam.
“Bukan untuk lari. Tapi untuk menemukan sesuatu yang nyata. Aku sudah terlalu lama berada di medan perang. Dunia ini butuh penyembuh, bukan pembunuh.”
“Dan aku?” tanya Lyra nyaris tak terdengar.
Kaelen memejamkan mata.
“Aku tak ingin kau ikut... jika itu hanya akan membuatmu menderita. Aku mungkin tidak ingat semua tentang Serina. Tapi aku tahu apa rasanya kehilangan. Aku tak mau menyakitimu juga.”
Lyra menahan air mata.
“Aku bisa memilih bertahan. Tapi jangan minta aku untuk menunggu.”
Kaelen mengangguk.
“Kalau kau ingin membenciku... aku akan menerimanya.”
Lyra berdiri. “Aku tidak akan membencimu, Kaelen. Tapi suatu hari, aku akan belajar hidup tanpamu. Dan kau harus siap... untuk dunia yang akan terus bergerak meski kau tidak ada di dalamnya.”
Di luar kamar itu, bulan menggantung sendu.
Retakan dalam dunia baru tak datang dari sisa-sisa perang.
Tapi dari jiwa-jiwa yang tak pernah benar-benar pulih.
Dan Kaelen, sang penyelamat, mulai menyadari...
Ia tak bisa menyelamatkan dunia dan dirinya sendiri sekaligus.