Chapter 193: – Bara di Bawah Damai - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 193: – Bara di Bawah Damai

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 193: – BARA DI BAWAH DAMAI

Tiga hari setelah rapat dewan terakhir, suasana kota Veritas mulai terasa ganjil. Tidak ada ledakan, tidak ada pertempuran terbuka. Tapi ketegangan itu ada, menyelinap seperti asap dari bara yang tersembunyi. Jalan-jalan ramai tapi penuh bisik-bisik. Pandangan curiga. Bisik antar kelompok.

Di salah satu kedai kecil dekat alun-alun, seorang pemuda berambut ikal, dikenali sebagai mantan prajurit barisan Serina, berdiri di atas meja.

“Apa ini dunia yang kita perjuangkan?” teriaknya lantang, membuat semua kepala menoleh. “Dulu kita bertaruh nyawa demi kebebasan. Sekarang, mantan Ordo duduk di dewan. Mereka menandatangani kebijakan. Mereka mengatur kita!”

“Duduklah, Freyn,” sahut seorang wanita tua dari balik konter. “Kami semua kehilangan sesuatu. Kau bukan satu-satunya yang berhak marah.”

“Tapi aku satu-satunya yang masih bicara!” bentaknya.

Beberapa orang bertepuk tangan.

Yang lain menunduk.

Sore itu, Lyra menghadiri pertemuan informal dengan kelompok sipil yang mulai khawatir. Ia datang sendiri, tanpa Kaelen.

Seorang lelaki dengan janggut lebat dan luka lama di pipi membuka pembicaraan.

“Kami tidak ingin kekacauan, Lady Lyra. Tapi kalau situasi ini dibiarkan, akan ada pertumpahan darah. Orang-orang tidak percaya dewan. Mereka merasa pengkhianat bebas berkeliaran.”

Lyra mendengarkan dengan tenang. “Aku mengerti. Tapi siapa yang akan kalian percayai kalau bukan kita yang dulu bersama kalian sejak awal?”

Wanita di sebelah pria itu menjawab, “Kami mempercayaimu, Lyra. Tapi Kaelen? Dia sudah... berbeda. Terlalu sunyi. Terlalu jauh. Dan kalau pemimpin kita tidak bicara, orang lain akan bicara menggantikan.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada teriakan.

Di luar kota, di sebuah lereng berbatu yang pernah menjadi titik pos pengintaian, Kaelen berdiri sendiri. Angin membawa debu, mengeringkan keringat yang tidak terasa. Ia menatap horizon, di mana langit dan tanah seolah bertabrakan.

Di belakangnya, suara langkah.

Alden.

“Kau menghilang lagi,” katanya tanpa basa-basi.

Kaelen tetap memandangi cakrawala. “Kau yang dulu selalu bilang, diam kadang lebih lantang daripada seribu pidato.”

“Tapi sekarang orang mengira diam artinya menyerah,” jawab Alden. “Atau menyesal.”

Kaelen mengangguk pelan. “Mungkin keduanya benar.”

Alden diam sejenak sebelum mendekat. “Freyn. Anak muda yang dulu ikut Serina. Dia bicara di publik. Menyulut kemarahan. Ada yang mengikutinya. Banyak.”

“Biarkan saja,” gumam Kaelen. “Kalau mereka butuh pemimpin baru, siapa aku untuk menahan?”

“Masalahnya bukan itu,” kata Alden tajam. “Masalahnya, mereka mengira kau yang tidak peduli. Dan yang lebih buruk—beberapa orang mulai percaya kau menyembunyikan sesuatu.”

Kaelen menoleh perlahan. “Apa maksudmu?”

Alden menatapnya lurus. “Rumor tentang kenanganmu yang hilang. Tentang Serina. Tentang Lyra. Mereka pikir kekuatanmu menelan jiwamu, dan kini kau hanya bayangan dari Kaelen yang dulu.”

Kaelen tidak menyangkal. “Mungkin mereka benar.”

“Tapi selama kau tidak bicara, mereka akan terus menciptakan cerita sendiri.”

Malam itu, Lyra menulis sendiri pidato untuk pertemuan rakyat esok hari. Ia menulis dengan tangan gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena ragu. Ragu apakah suara rakyat masih bisa diarahkan, atau sudah menjadi ombak yang tak bisa dikendalikan.

Tiba-tiba, pintu diketuk.

Kaelen.

Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah letih.

“Aku tak tahu harus bicara apa pada mereka,” katanya lirih.

Lyra berdiri, mendekat perlahan.

“Kau tidak harus memberikan jawaban, Kaelen. Kau hanya perlu jujur.”

Kaelen menatap mata Lyra. Kali ini, dalam diam, ia seperti mencari sesuatu yang hilang jauh di masa lalu.

“Aku bahkan tak tahu siapa yang bicara dalam diriku sekarang. Apa ini aku... atau sisa dari semua luka dan kehilangan yang kutanggung.”

Lyra menggenggam tangannya. “Kalau begitu, biarkan kami yang mengingatkan siapa kau.”

Kaelen memejamkan mata sejenak, lalu membuka perlahan. “Besok... aku akan bicara.”

Pagi berikutnya, alun-alun Veritas penuh sesak. Wajah-wajah tegang, beberapa penuh harap, lainnya skeptis. Freyn berdiri di pinggir, dikelilingi para pengikut barunya. Di atas panggung kayu, Lyra berdiri bersama Alden.

Lalu Kaelen muncul.

Ia tidak mengenakan jubah perang. Tidak pula armor. Hanya pakaian biasa, seperti rakyat yang datang. Rambutnya agak panjang, ikat kepalanya lusuh.

Ia menatap mereka semua. Lama. Sunyi.

Lalu berkata:

“Aku... tidak datang hari ini sebagai pemimpin. Aku datang sebagai orang yang kehilangan. Kehilangan teman. Keluarga. Diri sendiri.”

Alun-alun hening.

“Aku tak bisa menjanjikan dunia yang sempurna. Aku bahkan tidak yakin bisa menyebut dunia ini lebih baik dari sebelumnya. Tapi aku tahu, kalau kita terus saling curiga, maka perang yang kita lawan akan menang dengan cara lain.”

Freyn melangkah ke depan. “Kau tak ingat Serina, bukan? Orang bilang kekuatanmu menghapusnya dari ingatanmu.”

Kaelen menatapnya. “Aku... tidak sepenuhnya ingat. Tapi rasa sakit itu masih ada. Dan karena rasa sakit itulah aku tahu... dia nyata. Dan berharga.”

Freyn terdiam.

“Jika kita biarkan amarah memimpin kita, maka kita hanya akan menjadi Ordo versi baru. Tapi jika kita saling jujur tentang luka kita—dan bersedia menyembuhkan bersama—mungkin... dunia yang kita perjuangkan bisa benar-benar ada.”

Tak ada tepuk tangan setelah pidato itu.

Tapi juga tak ada teriakan.

Hanya hening.

Dan dalam hening itu, benih keraguan mulai tergantikan oleh sesuatu yang lebih dalam: pertanyaan.

Dan dari pertanyaan, bisa lahir perubahan.

Atau kehancuran.

Novel