Chapter 194: – Ombak yang Membelah Batu - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 194: – Ombak yang Membelah Batu

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 194: – OMBAK YANG MEMBELAH BATU

Hujan turun malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk menghapus jejak di tanah. Kaelen berdiri di balkon atas menara Veritas, menatap kota yang basah oleh kabut dan lampu-lampu redup. Pidatonya pagi tadi tak diikuti sorak-sorai. Tapi ia tak mengharapkannya. Ia tahu, ombak tidak membelah batu dalam satu pukulan.

Langkah pelan mendekat di belakang.

Lyra.

“Beberapa pengawal bilang Freyn meninggalkan kota. Katanya ingin ‘berpikir’.”

Kaelen tidak menoleh. “Berpikir bisa berarti menyusun serangan.”

“Kau mengkhawatirkannya?”

“Aku mengkhawatirkan orang-orang yang percaya padanya.”

Lyra mendesah. “Dulu kita pikir musuh ada di luar pagar. Sekarang, pagar itu sudah tidak ada, tapi rasa takut masih tinggal.”

Kaelen memejamkan mata. “Rasa takut lebih kuat daripada kebencian. Karena ia hidup di dalam.”

Sementara itu, jauh di lorong bawah tanah bekas benteng Ordo Cahaya, sekelompok pria dan wanita berkumpul. Beberapa memakai bekas armor Ordo yang dilucuti lambangnya. Di tengah mereka, Freyn duduk bersila. Wajahnya basah oleh keringat.

“Dia mengaku lupa,” gumamnya. “Tapi ingatan bukan satu-satunya yang bisa hilang. Kadang, jiwa pun bisa.”

Seorang wanita kurus berambut kelabu bersandar ke dinding. “Rakyat mulai bicara lagi. Tapi mereka masih takut. Mereka butuh pemicu.”

Freyn mengangguk. “Maka kita beri mereka api.”

Seorang pemuda lain menyela. “Kau ingin melawan Kaelen?”

Freyn memandang lurus ke arah pemuda itu. “Aku ingin menyelamatkan esensinya yang dulu. Dan kalau itu artinya menghancurkan dia sekarang—maka ya. Aku akan melawan.”

Di markas dewan, Alden menemui Lyra yang sedang membaca peta wilayah.

“Mata-mata kita di daerah barat laporkan sesuatu aneh,” katanya cepat. “Gudang tua yang harusnya ditutup dipenuhi bekas senjata. Dan banyak wajah lama muncul—mereka yang dulu hilang setelah Ordo tumbang.”

Lyra menyipitkan mata. “Kau pikir Freyn mengumpulkan pasukan?”

Alden mengangguk. “Tidak besar. Tapi cukup untuk memulai.”

“Dan Kaelen?” tanya Lyra.

“Dia... membeku lagi. Seolah apa pun yang terjadi tak menyentuhnya.”

Lyra menggenggam gagang kursi. “Aku takut dia sudah terlalu dalam dalam pikirannya sendiri. Tak bisa kembali.”

Keesokan harinya, Kaelen berjalan sendirian di pasar bawah. Ia mengenakan tudung. Orang-orang mengenalinya, tapi tidak menyapa. Beberapa menunduk. Beberapa memeluk anak mereka rapat-rapat.

Lalu terdengar suara:

“Kaelen!”

Ia menoleh.

Seorang gadis kecil berlari ke arahnya, wajahnya kotor, tapi senyumnya lebar.

“Kaelen!” ulangnya, mengabaikan ibu yang berusaha menariknya.

Kaelen berlutut. “Siapa namamu?”

“Aryn.”

“Ibuku bilang kau lupa orang-orang. Tapi aku mau kau ingat aku.”

Kaelen membeku.

Si ibu mendekat, panik. “Maaf, Tuan, dia—dia hanya anak—”

Kaelen mengangguk pelan. “Tak apa.”

Aryn menyodorkan bunga kecil yang hampir layu. “Ini untukmu. Biar kamu nggak lupa siapa yang kau lindungi.”

Kaelen menerimanya.

Tangan kecil itu membuat dadanya bergetar pelan.

Malamnya, Kaelen duduk di ruang rapat yang kosong. Di depannya, peta, laporan, catatan dewan.

Tapi matanya menatap kosong.

Lalu, pintu terbuka.

Alden masuk dengan langkah cepat.

“Mereka bergerak. Freyn dan kelompoknya. Menuju utara. Mereka mengambil gudang senjata dan menyebarkan pamflet di tujuh distrik. Kau harus bicara.”

Kaelen masih diam.

“Kaelen!” bentak Alden.

“Aku bicara. Dan mereka tetap bergerak.”

“Karena bicaramu terlalu terlambat!”

Kaelen berdiri pelan. Suaranya rendah, tapi tajam.

“Apa kau pikir aku tak tahu? Bahwa semua yang kuucapkan—semua yang kuperjuangkan—seperti ombak yang dihantam karang yang tak pernah retak?”

Alden mengatupkan rahangnya. “Lalu apa rencanamu? Diam sampai kota terbakar?”

Kaelen berjalan ke arah jendela besar.

“Tidak. Aku akan menemui Freyn. Sendirian.”

Tiga jam kemudian, Kaelen mendatangi reruntuhan aula tua tempat Freyn bersembunyi. Tak ada pasukan. Hanya dia dan angin.

Freyn muncul dari bayang-bayang.

“Kau datang.”

Kaelen berdiri tegak. “Aku tak ingin membunuhmu.”

“Tapi kalau harus?”

“Kalau harus, aku akan hancurkan kebencianmu, bukan dirimu.”

Freyn tertawa getir. “Terlambat. Kebencianku adalah aku sekarang. Dan kau—kau hanya cangkang dari pemimpin yang dulu kami ikuti.”

Kaelen maju satu langkah. “Aku tidak menyesal telah memilih melupakan demi menyelamatkan. Tapi aku menyesal tidak mengatakan ini lebih awal: setiap kehilangan kita—itu bukan harga untuk kekuasaan. Tapi tanda bahwa kita masih hidup.”

Freyn mengangkat belatinya. “Kau menyelamatkan dunia, tapi kehilangan jiwa. Aku kehilangan teman-temanku, tapi aku tetap manusia.”

Mereka saling tatap.

Senjata di tangan Freyn bergetar.

Kaelen menutup matanya sejenak. “Kalau kau perlu menebas aku untuk merasa utuh lagi, lakukan.”

Tangan Freyn gemetar.

Ia melangkah maju.

Lalu berhenti.

Menjatuhkan belatinya.

Air matanya jatuh lebih dulu.

“Aku hanya... lelah kehilangan,” bisiknya.

Kaelen mendekat. Perlahan, meletakkan tangan di bahu Freyn.

“Begitu juga aku.”

Malam itu, tidak ada perang. Tidak ada ledakan.

Tapi dunia berubah.

Karena untuk pertama kalinya, seorang yang marah, dan seorang yang terluka, memilih berdamai sebelum darah kembali tumpah.

Dan kadang, kemenangan itu cukup untuk melanjutkan langkah berikutnya.

Novel