Chapter 195: – Lembah yang Tidak Lupa - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 195: – Lembah yang Tidak Lupa

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 195: – LEMBAH YANG TIDAK LUPA

Matahari pagi belum sepenuhnya menembus awan kelabu ketika Kaelen berdiri di tepian Lembah Rauthen—dulu markas pertama mereka saat perang baru dimulai. Tanah itu kini sunyi. Rumput liar menutupi bekas tenda dan parit. Tapi aroma darah dan bara masih tertinggal, meski bertahun telah lewat.

“Sudah lama,” gumam seseorang dari belakang.

Kaelen menoleh. Lyra.

Ia mendekat, menarik tudung dan menatap dataran yang dulu mereka sebut rumah. “Kau ingat saat kita membangun dapur dari batu-batu kali? Kau—kita, selalu ribut soal sup.”

Kaelen tersenyum kecil. “Karena kau pakai akar pahit.”

“Itu akar obat,” sahut Lyra. “Dan aku tetap hidup, bukan?”

Kaelen menunduk, senyumnya memudar. “Ya. Kau tetap hidup.”

Mereka berdiri lama tanpa bicara. Di antara mereka, hanya desiran angin yang bicara.

“Ada alasan kau datang ke sini?” tanya Lyra akhirnya.

Kaelen mengangguk pelan. “Karena aku ingat tempat ini, bahkan saat aku tak lagi ingat detail wajah Serina... atau suara ayahku.”

Lyra menatapnya lama, seperti mencari sesuatu yang dulu hilang di mata Kaelen. “Tempat menyimpan luka, kadang lebih setia daripada pikiran kita sendiri.”

Kaelen menarik napas dalam. “Aku ingin memastikan. Apakah aku benar-benar kehilangan semuanya... atau hanya bagian yang kupilih untuk dilupakan.”

Seketika angin berubah arah.

Langkah berat terdengar dari sisi lembah.

Alden muncul tergesa, wajahnya gelisah. “Kaelen, ada sesuatu... sesuatu yang aneh di bukit timur. Kami menemukannya tadi malam.”

Kaelen langsung siaga. “Apa itu?”

Alden menyerahkan gulungan perkamen. Di atasnya, terukir simbol yang seharusnya sudah mati: lambang Ordo Cahaya.

Lyra memucat. “Itu tidak mungkin. Lambang itu dimusnahkan bersama benteng utama.”

“Tidak,” kata Kaelen pelan. “Yang kita musnahkan hanyalah struktur. Ideologi tidak mati hanya karena benteng runtuh.”

Mereka tiba di bukit itu saat matahari tergelincir ke barat. Di antara reruntuhan batu dan pohon-pohon lapuk, ada bekas altar. Di tengahnya berdiri sosok tua, berjubah abu-abu, wajahnya terlindung tudung.

Ia berbalik perlahan, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti.

Lyra menahan napas. “...Thalos?”

Sang mantan penasihat Ordo, yang dikira tewas dalam pengepungan lima tahun lalu, masih hidup—dan tersenyum.

“Sudah lama... anak-anak kecil yang ingin main jadi pahlawan.”

Kaelen maju satu langkah. “Apa ini permainanmu, Thalos? Menyebar lambang-lambang lama untuk membakar perang baru?”

Thalos tertawa pelan. “Perang tak butuh undangan, Kaelen. Ia hanya menunggu satu alasan yang cukup.”

Alden menarik pedangnya. “Kau tak seharusnya hidup.”

“Tapi aku hidup. Sama seperti doktrin yang kalian kira sudah punah. Kau lupa, Kaelen... Ordo bukan hanya pasukan. Ia keyakinan. Dan keyakinan tidak mati oleh pedang.”

Kaelen mengepalkan tangan. “Aku tidak datang untuk berdebat. Aku datang untuk mengakhiri sisa-sisa hantu masa lalu.”

“Lucu,” Thalos berbisik, suaranya dingin. “Karena kau sendiri adalah hantu dari masa lalu. Separuh jiwamu sudah dikorbankan. Berapa banyak yang masih tersisa, Kaelen?”

Diam.

Lalu Lyra menyela, suaranya lirih tapi tegas.

“Cukup untuk memilih. Cukup untuk berdiri di sisi yang benar, meski tidak sempurna.”

Tatapan Thalos berpindah padanya. “Anak Elvior. Masih mengira bisa menebus dosa ayahmu dengan berpura-pura jadi manusia biasa?”

Lyra tidak gentar. “Aku tidak berpura-pura. Justru karena aku tahu siapa aku, aku memilih berdiri di sini, sekarang.”

Alden bergerak maju. “Kita tangkap dia. Bawa ke dewan.”

Tapi Kaelen menahan. “Tidak. Kita biarkan dia pergi.”

Alden melotot. “Apa?!”

“Karena musuh terbesar bukan dia. Tapi rasa percaya kita yang goyah. Kalau kita tangkap dia hari ini, mereka akan bilang kita takut. Biarkan dia bicara. Kita akan bicara lebih keras.”

Thalos menyeringai. “Kau belajar dengan baik, Kaelen. Tapi hati-hati. Bahkan bayangan yang kau kendalikan, bisa menelanmu saat malam tiba.”

Ia berbalik dan lenyap dalam kabut.

Malam turun cepat. Di markas, Lyra, Kaelen, dan Alden duduk mengelilingi meja kecil.

“Dia akan menyebar rumor,” ujar Lyra.

“Biar saja,” kata Kaelen. “Tapi kita mulai duluan. Besok pagi, aku ingin bicara di alun-alun. Bukan pidato. Bukan propaganda. Hanya... kejujuran.”

Alden terdiam. “Kau pikir cukup?”

Kaelen menatap bunga kering di atas meja. Yang diberikan Aryn, anak kecil di pasar.

“Kalau aku lupa wajah mereka satu per satu, maka aku harus ingat untuk siapa aku memilih berdiri.”

Lyra tersenyum kecil. “Mungkin kita tidak akan menyelamatkan dunia sepenuhnya.”

“Tapi mungkin kita bisa menghentikan dunia dari melukai dirinya sendiri sekali lagi,” jawab Kaelen.

Dan malam itu, di tengah gelap, satu obor dinyalakan.

Bukan untuk perang.

Tapi untuk mengingat.

Bahwa harapan—meski kecil, masih ada.

Novel