Chapter 198: – Dentang Duka dan Rencana Baru - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 198: – Dentang Duka dan Rencana Baru

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 198: – DENTANG DUKA DAN RENCANA BARU

Fajar merekah perlahan, menyelimuti kamp sektor utara dengan cahaya keemasan yang samar-samar menusuk dingin sisa malam. Asap tipis dari dapur darurat mulai menari di udara. Namun, bukan aroma roti atau sup hangat yang memenuhi kamp pagi itu.

Melainkan kesunyian yang padat.

Kaelen duduk di atas peti kayu, jubahnya lusuh, matanya menatap api kecil yang hampir padam. Di tangannya, sepotong perkamen lusuh dari Alden yang baru dikirim semalam. Hanya satu kalimat:

“Dataran Narth akan digempur dalam tiga hari.”

Lyra datang dengan membawa secangkir teh hangat, aroma mint samar menguar.

“Minumlah,” katanya, lembut namun tegas.

Kaelen menerimanya, tapi tidak langsung meminum. Matanya masih terpaku pada perkamen itu.

“Kita belum siap,” ucapnya lirih. “Pasukan Aris terpecah. Rencana belum utuh. Dan aku...”

“Dan kau masih meragukan dirimu sendiri?” potong Lyra.

Ia duduk di sebelah Kaelen. Diam sejenak, lalu berkata, “Kau tahu... dulu, aku pernah percaya perang ini bisa dimenangkan hanya dengan pedang dan siasat. Tapi sekarang aku sadar—yang membuat kita bertahan bukan itu. Tapi pilihan.”

Kaelen mengangkat alis, menatapnya. “Pilihan?”

“Ya,” Lyra menatap ke arah tenda pusat kamp. “Pilihan untuk tetap mempercayai seseorang meski kita tahu dia akan mengecewakan kita suatu saat. Pilihan untuk tetap berdiri di sisi seseorang meski dunia menyuruhmu menjauh. Dan... pilihan untuk tetap melangkah walau kita tahu kita mungkin akan gagal.”

Kaelen menghela napas, dalam. “Kau masih yakin padaku?”

“Setiap harinya,” jawab Lyra tanpa ragu. “Dan kalau aku bisa, aku akan mengajarkan semua orang di kamp ini untuk percaya juga.”

Tepat saat itu, Aris mendekat. Langkahnya berat tapi tegap. Wajahnya tak lagi penuh amarah, tapi juga belum lunak.

“Pagi,” katanya datar.

Kaelen berdiri, perlahan. “Pagi.”

Aris menyodorkan sesuatu. Sebuah sketsa kasar dari benteng Ordo di Dataran Narth. Disertai beberapa tanda silang dan lingkaran.

“Ini rencana serangan mereka,” katanya. “Mata-mataku menangkapnya dari tahanan yang kabur. Kalau benar, kita hanya punya dua hari untuk memindahkan pasukan utama ke bukit timur.”

Kaelen menatapnya, ragu. “Kau percaya aku cukup untuk menyerahkan ini padaku?”

Aris mendengus. “Aku tidak percaya siapa pun saat ini. Tapi aku percaya pada tujuan. Dan kau satu-satunya yang bodoh cukup untuk tetap bertahan demi itu.”

Kaelen tersenyum tipis. “Aku akan anggap itu sebagai pujian.”

Aris menoleh pada Lyra, lalu kembali ke Kaelen. “Aku akan pimpin pasukan cadangan. Tapi satu syarat: kau sendiri yang pimpin di garis depan.”

“Kenapa?”

“Karena semua orang ingin melihatmu di sana. Kalau kau tidak berdiri bersama mereka... maka tidak ada lagi yang akan berdiri.”

Kaelen diam. Lalu mengangguk.

Di aula strategi darurat, para komandan berkumpul. Tiga puluh orang—wakil dari fraksi yang dulu terpecah, kini duduk bersama. Sebagian masih memandang Kaelen dengan sinis, sebagian dengan keingintahuan.

Kaelen berdiri di tengah, peta Narth terbentang di meja bundar.

“Serangan mereka datang dari utara dan barat,” jelasnya. “Tujuan utama mereka bukan menghancurkan kita, tapi membuat kita saling terpisah. Jika kita terpancing, kita kalah bukan karena kalah perang... tapi kalah arah.”

Salah satu komandan muda bertanya, “Apa kau punya solusi untuk menyatukan semua pasukan yang kini tersebar di tiga titik?”

Kaelen menatapnya. “Tidak ada solusi mudah. Tapi ada dua hal yang bisa menyatukan kita: satu, ancaman bersama. Dua, harapan bersama.”

Ia menatap satu per satu wajah di ruangan itu.

“Aku tahu aku telah gagal banyak hal. Telah membuat keputusan yang menyakitkan banyak dari kalian. Tapi aku tidak akan berdiri di sini hari ini jika aku tidak masih percaya bahwa kita bisa menang—bukan hanya atas Ordo Cahaya, tapi atas diri kita sendiri.”

Semua hening. Sampai salah satu tetua kamp berdiri perlahan dan berkata, “Apa rencanamu?”

Kaelen menunjuk pada bagian bukit timur peta. “Kita kumpulkan pasukan cadangan di sini. Sembunyikan senjata berat. Aku akan memimpin umpan ke utara untuk menarik perhatian mereka. Saat mereka fokus, kita serang dari sisi dan potong suplai mereka.”

“Dan kalau gagal?” tanya Lyra, yang kini berdiri di pintu, mendengar dari kejauhan.

Kaelen menatapnya.

“Maka aku akan jatuh... di tempat yang bisa kulihat mata kalian. Agar kalian tahu bahwa bahkan di akhirku, aku tetap memilih kalian.”

Malam itu, ketika kamp mulai bersiap untuk pindah ke bukit timur, Kaelen berdiri di bawah langit berbintang. Lyra menghampirinya.

“Besok kita mulai bergerak.”

Kaelen mengangguk. “Dan besok malam, mungkin aku takkan sempat melihat bintang lagi.”

Lyra mendekat, menyentuh tangannya. “Kau akan kembali.”

“Jika aku kembali... apa kau masih akan ada di sisiku?”

Lyra tersenyum. “Aku akan selalu ada. Bahkan jika kau lupa aku lagi, aku akan tetap di sini. Karena cinta itu... bukan tentang dikenang. Tapi tentang memilih bertahan.”

Kaelen menutup matanya. Di dadanya, rasa takut dan keyakinan bertabrakan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap.

Dentang perang akan segera datang. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Novel