The Shattered Light
Chapter 199: – Di Ambang Perpisahan
CHAPTER 199: – DI AMBANG PERPISAHAN
Angin malam menyapu dataran Narth, membawa bau besi, tanah basah, dan ketegangan yang menempel seperti kabut di dada siapa pun yang masih terjaga malam itu. Tenda komando berdiri hening, diterangi lentera kecil yang bergoyang pelan karena tiupan angin.
Kaelen berdiri di luar tenda, matanya menatap ke arah bukit tempat pasukan mereka kini tersembunyi. Bayangan kerangka pengepungan yang dirancang Aris mulai nampak: senjata berat disamarkan oleh ilalang, titik-titik api kecil sebagai penyamaran, dan suara langkah yang nyaris tidak terdengar.
Tapi malam ini bukan tentang taktik.
Ini malam terakhir sebelum perang. Malam sebelum dia, sekali lagi, kehilangan sesuatu yang tak bisa dia simpan di dalam dirinya.
Langkah kaki lembut menghampirinya. Kaelen tak menoleh. Ia tahu langkah itu.
“Harusnya kau istirahat,” kata Lyra.
“Harusnya semua orang istirahat. Tapi tak ada satu pun dari kita yang benar-benar bisa tidur malam ini, bukan?”
Lyra berdiri di sebelahnya. “Kau takut?”
Kaelen mengangguk perlahan. “Bukan karena aku bisa mati. Tapi karena aku takut lupa.”
Lyra menarik napas, lalu berkata, “Kaelen... jika kau sampai melupakan aku, aku ingin kau tahu satu hal.”
Kaelen menoleh. Pandangan mereka bertemu.
“Aku tidak menyesal pernah mencintaimu,” katanya. “Bahkan jika nanti kau berjalan melewatiku tanpa mengenaliku, aku akan tetap merasa cukup karena pernah bersamamu sejauh ini.”
Kaelen membuka mulut, ingin menjawab, tapi suaranya tercekat.
“Tapi jangan mati. Jangan tinggalkan aku... bukan malam ini.”
Ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Kaelen. Hangat. Nyata.
“Aku janji,” kata Kaelen, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku akan kembali. Meskipun aku harus merangkak.”
Lyra tertawa, getir. “Kalau perlu, aku akan menyeretmu kembali sendiri.”
Tiba-tiba, langkah berat terdengar dari arah kanan. Aris muncul, ditemani dua penjaga. Matanya tajam, tapi wajahnya sedikit lebih lunak malam ini.
“Kita siap,” katanya. “Pasukan cadangan sudah di posisi. Musuh bergerak besok pagi, seperti dugaanmu.”
Kaelen mengangguk. “Bagaimana moral mereka?”
“Campur aduk,” jawab Aris. “Sebagian ingin membunuh, sebagian ingin bertahan hidup. Tapi anehnya... semuanya tetap tinggal.”
Aris mendekat, lalu memandang Kaelen. “Aku ingin kau tahu... aku tetap tak setuju dengan semua keputusanmu. Tapi kalau aku harus mati besok, aku lebih pilih mati di bawah komando seseorang yang masih punya hati.”
Kaelen sedikit tersenyum. “Semoga kita semua tetap hidup. Kita sudah kehilangan terlalu banyak.”
Aris menepuk pundaknya, lalu pergi.
Setelah ia berlalu, Kaelen dan Lyra kembali dalam keheningan.
“Besok,” ucap Kaelen, “aku akan berhadapan langsung dengan Eryon.”
“Kau yakin dia akan muncul?” tanya Lyra.
“Dia tahu aku tak akan biarkan yang lain menuntaskan ini. Dan dia... juga ingin mengakhiri semua ini sendiri.”
“Kaelen,” suara Lyra kini bergetar, “jika dia mencoba memanipulasi ingatanmu lagi—”
“Kalau aku lupa siapa diriku,” Kaelen memotong, “ingatkan aku. Dengan apa pun.”
Lyra menunduk. Lalu, perlahan merogoh sakunya dan menyodorkan sesuatu: seutas pita kecil, kusam, tapi harum. Pita yang pernah ia kenakan di rambutnya bertahun-tahun lalu, di hutan pertama mereka bertemu.
“Kalau kau lupa, simpan ini. Dan mungkin... hatimu akan mengingat meski kepalamu tidak.”
Kaelen menerima pita itu. Lama menatapnya. Lalu memasukkannya ke dalam baju perangnya, tepat di dekat jantung.
Menjelang tengah malam, Kaelen memanggil Varian, tangan kanannya yang kini memimpin satuan elit.
“Aku butuh satu regu di belakang barisan. Jaga jalur mundur. Tapi yang lebih penting—jaga Lyra.”
Varian terkejut. “Kaelen, kau tahu dia tidak akan mundur. Bahkan kalau kau menyuruhnya sekalipun.”
Kaelen menatapnya dalam-dalam. “Itulah sebabnya aku butuh kau. Kalau aku jatuh, atau kehilangan kendali... jangan biarkan dia ikut hancur bersamaku.”
Varian terdiam. Lalu mengangguk tegas.
“Kau selalu membuat rencana rumit, tapi kau tetap orang yang paling takut kehilangan.”
Kaelen tidak menyangkal. Ia hanya menepuk bahu Varian sebelum kembali ke tendanya.
Di dalam tenda, Kaelen menyiapkan peralatan tempurnya. Bukan demi kemenangan. Tapi demi menjaga harapan agar sesuatu dari dirinya—entah itu kenangan, cinta, atau sekadar namanya—masih tersisa setelah perang ini selesai.
Ia menatap pantulan wajahnya di potongan logam perisai. Lelah. Tua. Tapi juga teguh.
Besok, ia akan menghadapi Eryon. Mungkin bukan untuk menang. Tapi untuk mengakhiri.
Ia memejamkan mata.
Dan dalam sunyi yang menggantung, ia mengucapkan satu doa pelan—bukan kepada dewa, tapi kepada dirinya sendiri:
“Jangan lupakan apa yang membuatmu manusia.”